Langsung ke konten utama

Cahaya itu Harapan

Nikmat Allah mana lagi yang kau dustai? 

Foto ku mungkin ga ada estetika fotografi yang gimana - gimana banget...
Bisa dibilang biasa aja kalau dilihat master fotografer. 
Tapi, ga semua orang bisa memaknai foto dengan sedalam - dalamnya, bukan?

Aku merasakan ketegangan di tempat tinggi saat itu, tapi ketegangan itu tidak berarti ketika aku menatap kebawah sejenak dan melihat betapa indah semua ini. Dan, betapa semua diciptakan indah adanya. 

Aku dipenuhi dengan rasa syukur karena diberi kesempatan untuk melihat pemandangan indah seperti ini bersama dengan temanku yang baik hati. (Meski bukan pacar).

Kata temanku, namanya bukit bintang.. Mungkin karena aku berpiak didaerah perbukitan dan dapat melihat cahaya -cahaya kecil laksana bintang di langit. MUNGKIN...
Tadinya, kami hampir saja melewati pemandangan indah ini. Karena baru saja kami merasa lapar dan cukup lelah setelah bermain di salah satu Pantai di Gunung Kidul, Yogyakarta.
Tapi, temanku ingat bahwa aku tidak boleh melewatkan pemandangan indah yang biasanya ia lihat ketika malam tahun baru datang. Dan, benar saja! IT'S SO AWESOME. :) Aku fikir citylight alami yg dapat kita lihat tanpa harus ke tower building itu hanya ada di Bandung.. Ternyata, di JOGJA ada:)
Saat ada disini, aku memikirkan berbagai hal indah yang telah aku lalui.. Aku juga ga ngerti kenapa itu yg terfikirakan? Mungkin karena hal - hal indah adalah hal yang selalu aku harapkan. Naluriku-

Yang jelas, aku tau dan setuju dengan sebuah kalimat (baca:quotes) dan teringat kalimat ini keetika melihat foto yang kuberi judul "Cahaya itu Harapan".

"It is during our darkest moment that we must focus to see the light." -Aristoltle Onnasis

Beliau bilang ini selama kita dalam masa2 kegelapan, kita harus fokus utk melihat terang atau titik terang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertemuan Itu, Katanya Baik?

"Tidak ada hal yang lebih baik selain dipertemukan dengan orang baik."-Cr Kirana.. Terima kasih sudah bertanya.. Kirana.. Kamu tau? Begitu banyak jumlah manusia di dunia, namun kita tidak pernah tahu dengan siapa kita akan bertemu. Bahkan ketika di dalam kandungan, kita belum tahu menahu tentang bagaimana wajah ibu yang mengandung kita sampai ketika kita lahir. Lahir ke dunia baru dan mulai melihat matahari. Kirana, coba ingat-ingat.. Apa kamu pernah mendengar kalimat tegas nan lembut di atas? Aku baru saja mau bercerita tentang pengalamanku akan kalimat itu. Aku sekarang berusia 21 tahun.. Dalam setiap perjalanan pertemuanku dari dulu sampai sekarang, aku merasakan banyak hal yang bergejolak. Mulai dari tidak dianggap dalam pertemuan kemudian tidak disukai dalam pertemuan, diacuhkan bahkan dibenci, hingga sebaliknya yakni disukai dan dielu-elukan. Eits.. Lama-lama juga terbiasa. Semoga Kirana gak akan ngalamin pahit-pahitnya ya, berat.      ...

Surat Untuk Oma

Hai Oma!  Apa kabar?  “Siapapun berhak untuk bahagia”. Itu kalimat yang paling aku ingat dan aku rasakan dari orang yang mengatakannya kepadaku. Hai, oma! Aku rindu! Rindu sekali, bahkan berkali-kali. Terlalu banyak kenangan yang gak bisa aku ceritain satu-satu buat ngingetin oma tentang kenangan kita bersama. Yang pasti, semua kenangan kita itu keren banget, oma! Sekarang gak kerasa ya aku sudah sebesar ini, 21 tahun. Usia yang katanya menjadi batas usia ideal bagi perempuan untuk boleh menikah. Dan itu artinya, sudah sekitar 7 tahun lamanya kita gak ketemu ya, oma. Selama kita gak ketemu, aku gak pernah ragu sama ajaran yang sudah oma berikan dan tanamkan ke dalam keluarga. Bahwa keluarga adalah harta yang paling berharga dan satu kalimat pertanyaan yang masih aku ingat sampai sekarang adalah “Kalau oma udah ga ada, nanti siapa ya yang jadi penomor satu di keluarga ini?”. Tik tok, aku gak bisa jawab apa-apa. Waktu itu aku masih remaja SMP yang belum menget...

Sentuhan Cantik Ibu Pertiwi

“Namanya juga travelling, bukan jalan-jalan biasa loh!”,  itu pesan yang selalu aku ingat saat tiba di Lombok. “hmm..”, aku hanya bisa bergumam memikirkan kejutan apa yang akan aku dapat di Lombok, kota yang aku nanti-nantikan selama ini. “Selamat pagi, selamat datang di Desa Sade, rumahnya orang Sasak. Tempat seluruh keluarga kami tinggal”, salam seorang pemandu asli Desa Sade kepada kami yang baru saja memasuki gapura Desa Sade.  “Whoaaa…”, semangat juga ini Bapak pemandu. “ What ?!!”, sumpah! Ini pertama kali nya aku ngeliat bentuk rumah sederhana ada didalam satu kawasan. It’s totally different sama rumah-rumah biasanya di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat apalagi kalau dibandingkan dengan rumah pejabat di Jakarta. Hehehehe. Kamu tahu? Semuanya masih 100 persen alami, atapnya dari tumpukan jerami, berdindingkan anyaman bambu dan beralaskan tanah liat yang dicampur dengan kotoran kerbau sebagai adat khas dari Desa Sade sebagai wujud bahwa rumah tersebut sudah ...