Jakarta, malam hari.. Ditemani rintik hujan yang seketika semakin ramai dan berderu seolah bernyanyi untuk menghiburku, aku menahan perih karena bibir tak sanggup berkata apa yang hati ingin sampaikan. Rasa yang dilewati belakangan ini seolah dipendam secara paksa dengan segudang tenaga yang dihabiskan untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawab mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sudah lama aku tidak melihat sinar yang aku damba, akhir-akhir ini yang kulihat hanya bulan di tengah angkasa yang gelap seolah menahan entah apa yang ditahan aku pun tak tahu. Jangankan melihat yang lain, bahkan fajar yang senantiasa hadir dikala pagi ku belum siap bertemu banyak rakyat pun kali ini seolah redup bahkan tak lagi nyata seperti sedia kala. Oh tunggu, Aku rasa tak lagi ku temukan fajar yang sama. Mungkin kali ini sudah berbeda. Baik, aku akui saja. Jujur aku merindukan fajar itu. Kemana perginya? Oh, bukan. Bukan itu yang terasa pergi. Bukan fajarnya. Melainkan sinar ...
Emosi itu melekat walaupun sejenak. Biarkan aku bermain bersama emosi ku dan kuperkenalkan kepadamu.